Dinar Dinilai Ideal Jadi mata Uang Tunggal ASEAN

Dinar dan dirham.

JAKARTA - Dinar dan dirham dinilai paling ideal untuk menjadi mata uang tunggal ASEAN karena kekuatannya yang sangat baik untuk menjaga tekanan inflasi meskipun ada beberapa kelemahan yang tetap harus dipertimbangkan.

"Isu penyatuan mata uang sedang menjadi isu hangat di ASEAN menjelang MEA, sementara dinar sendiri sebenarnya bukan hal baru justru ini mata uang alternatif yang ideal di kawasan ini," kata Corporate Communication PT Bank Panin Syariah Subeni di Jakarta, Ahad (28/9).

Ia mengatakan dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak dinilainya merupakan alat transaksi ideal karena dapat menghindarkan risiko-risiko penggerusan nilai yang diakibatkan oleh inflasi.

Apalagi menurut dia jika transaksi syariah yakni muamalah ingin mencapai keadilan, maka transaksi tersebut sebaiknya dibasiskan pada mata uang dinar dan dirham.

"Itulah sebabnya kehadiran mata uang dinar dan dirham merupakan prasyarat penting untuk mewujudkan keadilan transaksi," katanya.

Hal itu juga seiring dengan sejumlah anggota ASEAN yang juga anggota OKI sempat mengusulkan penggunaan Dinar dan Dirham sebagai alat tukar, guna menjaga dari tekanan inflasi di kawasan ASEAN.

Sedangkan bagi Indonesia sendiri penggunaan Dinar dan Dirham, kata Subeni, sebenarnya bukan menjadi hal yang baru.

"Di Nusantara sendiri sejarah Dinar sudah ditemukan sejak abad ke-13, pada saat pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang berkuasa di Samudera Pasai," katanya.

Sedangkan kini, kata dia, penggunaan Dinar dan Dirham dapat ditemukan di Kampung Nelayan Cilincing, tepatnya di Jalan Inspeksi Kali RT 007/008 Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara.

Di sisi lain, Subeni menegaskan, pendapat yang mengatakan Dinar dan Dirham adalah produk Islam pun sangat mudah dipatahkan dengan menilik sejarah Dinar.

"Jauh sebelum era Islam, Romawi telah menggunakan Dinar yang berasal dari kata Danarius," katanya.

Sayangnya Subeni melanjutkan di dunia ekonomi modern, mata uang berbasis emas pernah gagal dalam mengimbangi perdagangan dunia. Ia mencontohkan pengalaman Bretton Woods yang membasiskan sistem pertukaran mata uang dengan emas telah membuktikan kegagalan sistem mata uang seperti ini.

"Dolar berbasis emas di era Bretton Woods tidak mampu memberikan jaminan stabilitas pertukaran yang baik dan memaksa Amerika Serikat melakukan pengubahan sistem mata uang dari standar emas menjadi standar kertas," katanya.

Oleh karena itu, ia berpendapat, penggunaan dinar dan penyatuan mata uang merupakan sesuatu yang baik, namun perwujudannya harus melalui tahapan-tahapan yang memungkinkan hal itu diwujudkan.

"Meskipun memiliki berbagai keuntungan, namun perwujudan pembentukan mata uang tunggal ASEAN masih memiliki berbagai kendala, di antaranya masih amat beragamnya kondisi perekonomian negara-negara ASEAN," katanya.(ROL)


Tags :berita
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait