Misteri Jatuh Pesawat Lion Air JT 610 Mulai Terungkap, Ini Kronoliginya

Ilustrasi, Black Box pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di Perairan Laut Karawang Jawa Barat pada 29 Oktober 2018 lalu.

Jakarta, Oketimes.com - Misteri kecelakaan pesawat komersil Lion Air JT 610 jenis Boeing 737 MAX yang jatuh di perairan Tanjung Karawang Jawa Barat itu, satu persatu mulai terungkap ke publik.

Informasi terbaru yang dikutip dari Reusters, penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 yang terbang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Banten dan mengangkut 189 orang awak penumpang dan pilot menuju Bandar Udara Depati Amir Pangkal Pinang yang hilang kontak pada 29 Oktober 2018 lalu pagi itu mulai terkuak.

Sang pilot dan awak kendali pesawat Lion Air JT 610 jenis 737 MAX dikabarkan bersusah payah mencari informasi dari buku panduan setelah pesawat jet yang mereka kendalikan tiba-tiba menukik ke bawah. Namun tak banyak yang bisa mereka lakukan serta kehabisan waktu dan mengakibatkan badan kapal terhempas seketika ke dalam lautan.

Informasi tiga sumber yang dirangkum dari Reuters menyebutkan yang mengetahui isi rekaman suara kokpit pesawat itu adalah pertama kalinya isi rekaman suara dari pesawat Lion Air yang nahas tersebut diperdengarkan.

Investigasi ini dilakukan setelah otoritas penerbangan Amerika Serikat Federal Aviation Administration atau FAA dan regulator lain menghentikan operasional model pesawat Boeing tersebut pascakecelakaan di Ethiopia pada 10 Maret 2019.

Kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines nomor penerbangan ET 302 terjadi hanya berselang sekitar lima bulan, setelah pesawat Lion Air dengan tipe sama jatuh di perairan Laut Jawa.

Penyelidik tengah mencermati sejumlah faktor dua kecelakaan itu, di antaranya bagaimana komputer memerintahkan pesawat untuk menukik sebagai respons terhadap data dari sensor yang salah dan apakah pilot memiliki cukup pelatihan untuk menanggapi keadaan darurat dengan tepat.

Menurut laporan awal yang dirilis pada November 2018, Kapten Pilot Lion Air memegang kendali penerbangan Lion Air JT 610, ketika pesawat itu lepas landas dari Jakarta, sedangkan co-pilot pesawat bertugas menangani radio.

Hanya dua menit setelah lepas landas, co-pilot melaporkan ada "masalah kontrol penerbangan" kepada pihak ATC (air traffic control) dan mengutarakan bahwa pilot bermaksud mempertahankan ketinggian di 5.000 kaki.

Co-pilot tidak memerinci permasalahan yang dialami, tetapi menurut seorang sumber reuters itu, rekaman suara kokpit menyebutkan kecepatan udara. Sementara sumber kedua mengatakan "indikator menunjukkan adanya masalah pada layar kapten, bukan pada layar co-pilot".

Kapten pun meminta co-pilot untuk memeriksa buku panduan referensi cepat, yang berisikan daftar peristiwa-peristiwa abnormal, seperti dituturkan sumber pertama.

Selama sembilan menit berikutnya, pesawat itu memperingatkan sang pilot adanya kondisi stall dan otomatis meresponsnya dengan mendorong bagian hidung pesawat ke bawah, laporan itu menunjukkan.

Kondisi stall terjadi ketika aliran udara di atas sayap pesawat terlalu lemah untuk menghasilkan daya angkat dan membuatnya tetap terbang.

Sang kapten berjuang keras untuk menaikkan pesawat, namun komputer yang masih salah merasakan kondisi stall, terus menekan hidung pesawat menggunakan sistem trim pesawat. Normalnya, sistem trim menyesuaikan permukaan kontrol pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan datar.

"Mereka tampaknya tidak tahu trim itu bergerak turun. Mereka hanya memikirkan kecepatan udara dan ketinggian. Hanya itu yang mereka bicarakan," ungkap sumber ketiga.

Ketiga sumber menuturkan bahwa pilot Lion Air JT 610 terdengar tetap tenang selama sebagian besar penerbangan. Sang pilot kemudian meminta co-pilot untuk menerbangkan pesawat, sementara dia memeriksakan manual untuk mencari solusi permasalan.

Sekitar satu menit sebelum pesawat menghilang dari radar, kapten kemudian meminta ATC untuk membersihkan lalu lintas lainnya di bawah 3.000 kaki dan meminta ketinggian 5.000 kaki. Permintaannya ini disetujui, menurut laporan awal tersebut.

Saat kapten mencoba untuk menemukan prosedur yang tepat dalam buku panduan, co-pilot pesawat digambarkan tidak mampu mengendalikan pesawat itu.

Rekaman data penerbangan menunjukkan input kolom kontrol akhir dari co-pilot lebih lemah daripada yang dibuat sebelumnya oleh kapten pilot.

"Ini seperti ujian dimana ada 100 pertanyaan dan ketika waktunya habis Anda hanya menjawab 75. Jadi, kamu panik. Ini adalah kondisi time-out," terang sumber ketiga seperti diberitakan Reuters.

Kapten kelahiran India itupun akhirnya terdengar terdiam, sementara co-pilot asal Indonesia menyerukan "Allahu Akbar". Yang terjadi sesudahnya tragis. Pesawat itu menghantam perairan laut dan menewaskan total 189 orang di dalamnya.

Badan investigasi kecelakaan udara Prancis, BEA, pada Selasa, 19 Maret 2019 mengatakan, rekaman data penerbangan dalam kecelakaan Ethiopian Airlines pertengahan Maret ini yang menewaskan 157 orang menunjukkan "kesamaan yang jelas" dengan bencana Lion Air.

Sementara itu, Boeing Co. menolak memberikan komentarnya pada Rabu, 20 Maret 2019, karena investigasi masih tengah berlangsung. Produsen pesawat asal AS itu mengatakan ada prosedur untuk menangani situasi tersebut.

Kru yang berbeda di pesawat yang sama pada malam sebelum kecelakaan pada 29 Oktober mengalami masalah yang sama tetapi mampu menyelesaikannya, menurut laporan pada November. Tapi mereka tidak menyampaikan informasi tentang masalah yang mereka alami kepada awak pesawat berikutnya.

Sejak tragedi Lion Air, Boeing sebenarnya telah mengupayakan peningkatan perangkat lunak untuk mengubah seberapa banyak otoritas yang diberikan kepada Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver, atau MCAS, sistem anti-stall baru yang dikembangkan untuk 737 MAX.

Penyebab kecelakaan Lion Air belum ditentukan, tetapi laporan awal menyebutkan sejumlah faktor di antaranya sistem Boeing, sensor, serta prosedur pemeliharaan dan pelatihan maskapai penerbangan.

Kepala Komite Nasional Keselamatan Transportasi Soerjanto Tjahjono, pekan lalu mengatakan laporan itu dapat dirilis pada Juli atau Agustus ketika pihak otoritas berusaha mempercepat penyelidikan pasca kecelakaan Ethiopian Airlines. Ia pun menolak mengomentari isi rekaman suara kokpit.

Keluarga Korban Lion Air Menuntut Boing  

Disisi lain keluarga seorang penumpang pesawat Lion Air yang jatuh Oktober lalu kini menuntut perusahaan Boeing. Tuntutan itu menuduh pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 tersebut ‘berbahaya’. Keluarga tersebut meminta tuntutan itu disidangkan oleh pengadilan yang menggunakan sistem juri di Chicago, basis pabrik pesawat terbang itu.

Tuntutan hukum itu diajukan hari Senin kepada Circuit Court Cook County, Illinois, atas nama ahli waris Sudibyo Onggo Wardoyo yang tewas dalam kecelakaan pesawat Lion Air penerbangan 610 yang jatuh ke Laut Jawa tidak lama setelah bertolak dari Jakarta tanggal 29 Oktober. Seperti diketahui semua 189 orang yang berada dalam pesawat tewas.

Tuntutan hukum itu menuduh pesawat Boeing yang berumur dua bulan itu berbahaya sebab sensornya tidak memberi data yang akurat kepada sistem kendali terbangnya menyebabkan sistem anti-stall-nya terpasang tanpa seharusnya.

Tuntutan juga menuduh Boeing tidak memberi instruksi yang secukupnya kepada pilot tentang bagaimana harus bertindak dan mematikan sistem anti stall yang terpasang itu.

"Sepertinya Boeing mula-mula menutup mata kemudian mengikat tangan pilot," kata pengacara hukum Thomas Demetrio dari firma hukum Corboy & Demetrio, yang mewakili ahli waris Onggo Wardoyo terdiri dari orangtua dan tiga saudaranya. Permintaan kepada Boeing untuk menanggapi tuntutan itu tidak dijawab.***


Sumber  : Reuters / Berbagai Sumber / Editor : Van Hallen

 


Tags :berita
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait